Pertapa dan Penjahat

Pengalamannya miskin memaknai arti kebahagian. Alih-alih mengedepankan kalimat ‘semua orang berhak bahagia’, banyak orang yang justru malah tersakiti. Tak banyak hal yang ia mengerti, sedikit pula yang ia pahami. Naif diri melegitimasi sikap yang berujung kesalahan.

“Maaf kan aku,” kata Nabil berbisik dalam hati

Meski begitu, ia tak bohong ketika mengatakan hal itu. Setiap insan berhak merasakannya, pun mereka juga berhak mencaci, dua pasang manusia yang terbuai oleh dosa dan hasrat ingin saling memiliki.

“Sekali lagi, maafkan aku, karena bahagia memang tak sesederhana itu,” katanya sekali lagi.

Ia menghabiskan waktu kembali seperti dulu. Membaca banyak literasi mengenai realitas hidup yang semakin abstrak dan kerap disalahartikan (salah menurut dirinya sendiri), duduk sendiri di sudut kursi panjang kedai minuman favoritnya, sambil melihat orang-orang yang silih berganti lewat di depannya. Mencoba memahami arti arti keramaian melalui kesunyian hatinya.

Tak bisa ia menyalahkan garis takdir. Meski ia selalu bertanya ‘adakah kebahagiaan bisa ia rengkuh kembali?’ Matanya yang kosong mengintip masa lalu yang tak sengaja diputar balik dalam ingatan. Ketika mereka berdua berdansa di panggung tanpa penonton, atau bahkan di saat bermain-main di pinggir jurang kematian. Meski begitu, mereka bahagia. Hingga saat ia sadar telah melukai banyak orang.

Tak pula ia bisa mengutuk masa lalunya yang kelam. Ketika ia memaksakan diri merenggut apa yang bukan menjadi haknya. Seperti Adam dan Hawa, ia kini harus terjun jauh dari kenikmatan abadi dan menebus kesalahannya di dasar alam kesendirian. Menyusun anak tangga satu persatu untuk kembali ke langit tertinggi menuju kebahagiaan.

“Apa bahagia itu? Apa yang kau butuhkan? Apa yang kau cari? Dan apa yang hendak kau lakukan?” ia berdialek kepada diri sendiri.

Rahasia itu tetap diam, tak terungkap.

Di panggung itu, ia memainkan peran yang digariskannya saat ini. Menjadi pertapa yang tertunduk meratapi kesunyian. Khusyuk tak terganggu oleh pandangan orang-orang yang menatap sinis dan menilai aneh. Menunggu waktu sampai petunjuk datang dan merubahnya menjadi lebih bijak.

Sesaat ia menyamakan dirinya seperti seorang kriminal yang dipenjara dan dipaksa untuk merasakan ketidaknyamanan hidup di balik jeruji besi, sebagai hukuman atas kesalahannya. Menanti masa bebas hingga kembali menghirup udara bebas usai membayar lunas dosa-dosanya.

“Ya mungkin aku sama seperti mereka,” katanya.

Leave a comment